Get the calendrier coucher de soleil widget and many other great free widgets at Widgetbox! Not seeing a widget? (More info) Elisabeth Melia Putri Pertiwi

Suku Sakai


SUKU SAKAI 




Suku Sakai, merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang hidup di pedalaman Riau, Sumatera. Suku Sakai merupakan keturunan Minangkabau yang melakukan migrasi ke tepi Sungai Gasib, di hulu Sungai Rokan, pedalaman Riau pada abad ke-14. Seperti halnya Suku Ocu (penduduk asli Kabupaten Kampar), Orang Kuantan, dan Orang Indragiri, Suku Sakai merupakan kelompak masyarakat dari Pagaruyung yang bermigrasi ke daratan Riau berabad-abad lalu. Sebagian besar masyarakat Sakai hidup dari bertani dan berladang. Tidak ada data pasti mengenai jumlah orang Sakai. Data kependudukan yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial RI menyatakan bahwa jumlah orang Sakai di Kabupaten Bengkalis sebanyak 4.995 jiwa.

Nama Sakai konon berasal dari huruf awal kata Sungai, Kampung, Anak, dan Ikan. Maknanya, mereka adalah anak-anak negeri yang hidup di sekitar sungai dan mencari penghidupan dari hasil kekayaan yang ada di sungai berupa ikan. Jelas julukan ini diprotes oleh masyarakat suku Sakai yang sudah maju, karena hal tersebut berkonotasi pada hal yang tidak kuno dan bodoh, serta tidak mengikuti kemajuan jaman. Sedangkan kenyataannya kini, masyarakat Sakai sudah tidak lagi banyak yang masih melakukan tradisi hidup nomadennya, karena wilayah hutan yang semakin sempit di daerah Riau.
Suku Sakai selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup berpindah-pindah di hutan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, alam asri tempat mereka berlindung mulai punah. Kawasan yang tadinya hutan, berkembang menjadi daerah industri perminyakan, usaha kehutanan, perkebunan karet dan kelapa sawit, dan sentra ekonomi. Komposisi masyarakatnya pun menjadi lebih heterogen dengan pendatang baru dan pencari kerja dari berbagai kelompok masyarakat yang ada di Indonesia (Jawa, Minang, Batak, dsb). Akibatnya, masyarakat Sakai pun mulai kehilangan sumber penghidupan, sementara usaha atau kerja di bidang lain belum biasa mereka jalani.
Ada yang berpendapat bahwa suku ini berasal dari keturunan Nabi Adam yang langsung hijrah dari tanah Arab, terdampar di Sungai Limau, dan hidup di Sungai Tunu. Namun, tidak ada sumber tertulis pasti tentang asal-usul sesungguhnya suku Sakai ini. Pendapat lain mengatakan bahwa Sakai merupakan percampuran antara orang-orang Wedoid dengan orang-orang Melayu Tua. Catatan sejarah mengatakan bahwa pada zaman dahulu penduduk asli yang menghuni Nusantara adalah orang-orang Wedoid dan Austroloid, kelompok ras yang memiliki postur tubuh kekar dan berkulit hitam. Mereka bertahan hidup dengan berburu dan berpindah-pindah tempat. Sampai suatu masa, kira-kira 2.500-1.500 tahun sebelum Masehi, datanglah kelompok ras baru yang disebut dengan orang-orang Melayu Tua atau Proto-Melayu. Gelombang migrasi pertama ini kemudian disusul dengan gelombang migrasi yang kedua, yang terjadi sekitar 400-300 tahun sebelum Masehi. Kelompok ini lazim disebut sebagai orang-orang Melayu Muda atau Deutro-Melayu. Akibat penguasaan teknologi bertahan hidup yang lebih baik, orang-orang Melayu Muda ini berhasil mendesak kelompok Melayu Tua untuk menyingkir ke wilayah pedalaman. Di pedalaman, orang-orang Melayu Tua yang tersisih ini kemudian bertemu dengan orang-orang dari ras Wedoid dan Austroloid. Hasil kimpoi campur antara keduanya inilah yang kemudian melahirkan nenek moyang orang-orang Sakai.



Sementara pendapat kedua mengatakan bahwa orang-orang Sakai berasal dari Pagarruyung dan Batusangkar. Menurut versi cerita ini, orang-orang Sakai dulunya adalah penduduk Negeri Pagarruyung yang melakukan migrasi ke kawasan rimba belantara di sebelah timur negeri tersebut. Waktu itu Negeri Pagarruyung sangat padat penduduknya. Untuk mengurangi kepadatan penduduk tersebut, sang raja yang berkuasa kemudian mengutus sekitar 190 orang kepercayaannya untuk menjajaki kemungkinan kawasan hutan di sebelah timur Pagarruyung itu sebagai tempat pemukiman baru. Setelah menyisir kawasan hutan, rombongan tersebut akhirnya sampai di tepi Sungai Mandau. Karena Sungai Mandau dianggap dapat menjadi sumber kehidupan di wilayah tersebut, maka mereka menyimpulkan bahwa kawasan sekitar sungai itu layak dijadikan sebagai pemukiman baru. Keturunan mereka inilah yang kemudian disebut sebagai orang-orang Sakai. Bagi orang Sakai sendiri, pendapat ini dianggap yang lebih benar, karena mereka meyakini bahwa leluhur mereka memang berasal dari Negeri Pagarruyung. Bisa jadi anggapan pertama benar adanya, namun bisa juga kedua anggapan tersebut benar. Karena begitu banyaknya tersebar masyarakat suku Sakai ini di sepanjang daratan Riau dan juga Jambi. Populasi Suku Sakai yang terbesar hingga saat ini terdapat di Kabupaten Bengkalis (Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat).
Salah satu ciri masyarakat Sakai yang juga melahirkan penilaian negatif dari orang Melayu adalah agama mereka yang bersifat animistik. Meskipun banyak di antara orang Sakai yang telah memeluk Islam, namun mereka tetap memraktekkan agama nenek moyang mereka yang masih diselimuti unsur-unsur animisme, kekuatan magis, dan tentang mahkuk halus. Inti dari agama nenek moyang masyarakat Sakai adalah kepercayaan terhadap keberadaan ‘antu‘, atau mahluk gaib yang ada di sekitar mereka. Masyarakat Sakai menganggap bahwa antu juga memiliki kehidupan layaknya manusia. Mereka bergerombol dan memiliki kawasan pemukiman. Pusat dari pemukiman antu ini menurut orang Sakai berada di tengah-tengah rimba belantara yang belum pernah dijamah manusia.



Sumber :

Suku Mentawai


SUKU MENTAWAI

Suku Mentawai merupakan kelompok masyarakat yang hidup dan menetap di kepulauan Mentawai,propinsi Sumatera Barat.  Turun temurun, suku Mentawai tinggal di empat pulau besar di kepulauan Mentawai yakni Sibora, Siberut, Pagai Utara serta Pagai Selatan

Secara geografis, letak kepulauan Mentawai berhadapan dengan Samudera Hindia.Untuk menuju ke kepulauan Mentawai, anda harus menyeberangi laut dengan  menggunakan perahu motor. Jarak kepulauan Mentawai dari Pantai Padang lebih kurang 100 kilometer.  Secara turun temurun, suku Mentawai hidup sederhana di dalam sebuah Uma. Uma merupakan rumah yang terbuat dari kayu pohon. Arsitektur bangunan rumah Mentawai berbentuk panggung.
Kesederhanaan hidup suku Mentawai terlihat dari cara mereka berpakaian. Pada umumnya, pakaian suku Mentawai masih tradisional. Kaum lelaki Mentawai masih mengenakan Kabit yakni penutup bagian tubuh bawah yang hanya terbuat dari kulit kayu. Sementara bagian tubuh atas dibiarkantelanjang begitu saja tanpa mengenakan sehelai kain. 

Sikerei, tetua di Mentawai-pun masih mengenakan Kabit. Lain halnya dengan kaum wanita, untuk menutup tubuh bagian bawah, mereka menguntai pelepah daun pisang hingga berbentuk seperti rok. Sementara untuk tubuh bagian atas, mereka merajut daun rumbia hingga berbentuk seperti baju. Kalaupun ada suku Mentawai yang mengenakan kain sarung ataupun pakaian lengkap, jumlahnya hanya beberapa orang saja.

Diambil 1900-1940an

Suku mentawai adalah suku kuno yang tinggal di kepulauan mentawai.
bagian dari sumatra barat dan utara.














sumber: 



Ulasan tentang Suku Jawa



Ulasan tentang suku Jawa
Penting bagi kita untuk mengetahui asal usul suku Jawa sebagai wawasan terhadap kebinekaan nusantara kita tercinta ini. Indonesia yang majemuk memang memiliki berbagai macam suku, tercatat lebih dari 300 suku dengan 250 bahasa berdiam di Indonesia. Kali ini kita akan membahas secara rinci mengenai asal usul dan segala hal mengenai suku Jawa.



Suku Jawa sebagai suku dominan
Suku Jawa bisa dibilang sebagai satu suku yang dominan di negara kita tercinta ini. Jumlah penduduk suku Jawa memang lebih banyak daripada suku bangsa yang lain. Suku bangsa Jawa yang dimaksud adalah mereka yang memliki asal dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan suku asli Jawa Barat adalah Sunda. Maka kebanyakan dari daerah Jawa Barat tidak menganggap dirinya termasuk dalam wilayah Jawa. Menguak asal-usul suku Jawa memang tidak akan bisa lepas dari tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang berasal dari suku Jawa. Lima dari enam tokoh yang pernah menjadi presiden Indonesia adalah dari suku Jawa, bahkan salah satunya yakni Susilo Bambang Yudhoyono masih menjadi presiden saat ini. Selain itu tidak hanya tokoh-tokoh saja yang menarik, namun juga mengenai makanan, karakteristik, pandangan hidup dan kepercayaan.
Hikayat asal usul suku Jawa dan bahasa Jawa
Menurut hikayat, asal muasal suku Jawa diawali dari datangnya seorang satria pinandita yang bernama Aji Saka. Ia adalah orang yang menulis sebuah sajak, dimana sajak itu yang kini disebut sebagai abjad huruf Jawa hingga saat ini. Maka dari itu, asal mula sajak inilah yang digunakan sebagai penanggalan kalender Saka. Definisi suku Jawa adalah penduduk asli pulau Jawa bagian tengah dan timur, kecuali pulau Madura. Selain itu, mereka yang menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya untuk berkomunikasi juga termasuk dalam suku Jawa, meskipun tidak secara langsung berasal dari pulau Jawa. Demikian adalah definisi Magnis-Suseno mengenai suku bangsa Jawa. Asal usul suku Jawa juga berkaitan dengan bahasa yang digunakan, yakni bahasa Jawa. Secara resmi, ada dua jenis bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat suku Jawa. Dua jenis bahasa ini tersedia sebagai berikut:

1.      Bahasa Jawa Ngoko adalah bahasa Jawa yang digunakan oleh orang yang sudah akrab, orang dengan usia yang sama atau seseorang kepada orang lain yang status sosialnya lebih rendah.
2.      Bahasa Jawa Kromo Bahasa tersebut digunakan kepada orang yang belum akrab, dari orang muda kepada orang tua atau dengan orang yang status sosialnya lebih tinggi.
Pada bahasa Kromo, masih ada pembagian menjadi dua macam, yakni Kromo Madya dan Kromo Halus atau Kromo Inggil. Dimana Kromo Madya digunakan sebagai bahasa pergaulan yang lebih sopan daripada bahasa Ngoko. Sedangkan untuk Kromo Inggil digunakan kepada orang yang lebih tua atau memiliki jabatan dan status sosial yang jauh lebih tinggi dibandingkan yang berbicara.
Penggolongan sosial masyarakat Jawa
Dalam masyarakat Jawa terdapat penggolongan sosial yang pernah dibahas oleh seorang antropolog dari Amerika Serikat bernama Clifford Geertz. Ia membagi suku Jawa dalam tiga golongan. Golongan tersebut antara lain:
1.      Kaum santri
Golongan ini adalah mereka yang memeluk agama Islam dan menganut agama Islam sebagai jalan hidupnya.
2.      Kaum Abangan
Kaum abangan adalah mereka yang masih berpegang pada adat istiadat Jawa, meskipun mereka memeluk berbagai agama. Kaum ini sering disebut dengan Kejawen, maka ada istilah Islam Kejawen, Kristen Kejawen dan lain diantaranya. Beberapa priyayi kuno masuk dalam golongan ini.
3.      Kaum Priyayi
Kaum priyayi adalah mereka yang bekerja sebagai pegawai atau para cendikiawan. Mereka pada umumnya bekerja untuk pemerintah atau swasta dengan status sosial yang lebih tinggi dari orang kebanyakan.
Penggolongan sosial ini berkaitan dengan bahasa yang sudah dibahas diatas. Dalam melakukan komunikasi antara satu dengan lainnya, digunakan bahasa yang berbeda. Hal ini merupakan cara tersendiri bagi masyarakat suku Jawa dalam menunjukkan rasa hormat kepada orang yang lebih tua, dituakan, pejabat, orang yang lebih muda, ayah, ibu dan sebagainya.
Padangan hidup, kepercayaan, dan watak suku jawa
Setelah kita membahas asal usul, bahasa dan golongan sosial suku Jawa, maka kita akan melanjutkan pada karakteristik suku Jawa berikutnya, yakni sistem kekerabatan. Dalam suku Jawa, sistem kekerabatan disesuaikan dengan asal usulnya. Sistem yang digunakan adalah bilateral, yakni hubungan kekerabatan berasal dari kedua orang tua, ayah dan ibu. Maka dari itu disimpulkan bahwa hubungan kekerabatan suku Jawa tidak seperti suku lain kebanyakan yang hanya satu garis saja.
Pandangan hidup dan kepercayaan suku Jawa
Masing-masing suku bangsa di Indonesia pasti memiliki pandangan hidup dan kepercayaan masing-masing. Suku Jawa menyakini bahwa apa yang ada di dunia ini adalah satu kesatuan hidup yang harus dipelihara dengan harmoni. Manusia itu satu kesatuan dengan alam semesta, hal ini menyebabkan masyarakat Jawa yakin bahwa hidup manusia adalah suatu pengembaraan yang penuh dengan pengalaman religius. Hal ini membuat suku Jawa menggolongkan hidup berdasarkan ulasan diatas. Hidup ini terdiri dari dua macam alam, yakni:
1.      Alam Makrokosmik yakni alam yang misterius, penuh dengan hal yang sifatnya supranatural.
2.      Alam Mikrokosmik yakni alam yang nyata, alam yang kita tinggali saat ini.
Definisi dua alam ini menunjukkan bahwa suku Jawa memiliki tujuan hidup, yakni mencapai keseimbangan dalam mikrokosmik dan makrokosmik. Kepercayaan yang terbesar adalah untuk memiliki kehidupan yang baik di dunia, kita harus menjadi pribadi dan jiwa yang baik. Pembagian alam ini ditujukan untuk memudahkan masyarakat suku Jawa menjalani kehidupan. Sedangkan mengenai sistem kepercayaan kepada sang pencipta, suku Jawa adalah paling berpikiran terbuka, namun kebanyakan masih menganut kejawen. Kejawen adalah kepercayaan warisan nenek moyang yang memiliki sinkritisme dengan agama Hindu. Hal ini sangat wajar karena agama Hindu dan Budha menyebar terlebih dahulu daripada agama Islam di pulau Jawa.
Watak Suku Jawa
Setiap suku pasti memiliki karakter dominan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Suku Jawa terkenal sebagai bangsa yang penuh dengan tata krama, berbudi pekerti halus, ulet mengerjakan sesuatu. Memiliki kecenderungan tertutup dan tidak berterus terang adalah salah satu watak yang paling terkenal pada suku Jawa. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan orang Jawa yang menghindari konflik dan ingin memelihara hubungan yang harmonis. Suku Jawa tidak menyukai pertikaian, namun seringkali menjadi negatif karena terkadang menyimpan dendam sesama saudara atau orang lain.

PARIWISATA DAN SUKU PRIMITIVE DI PAPUA


Suku Korowai

Banyak sekali suku-suku yang ada di Indonesia ini dan masing-masing mempunyai kebudayaan nya sendiri , dan salah satu nya “Suku Korowai mempunyai populasi 3.000 orang ini adalah  salah satu suku paling aneh di dunia.Suku ini ditemukan baru 30 tahun yang lalu. Suku ini membangun rumah diatas pohon yang disebut dengan Rumah Tinggi. Beberapa rumah mereka bahkan bisa mencapai ketinggian 15 meter sampai 50 meter dari permukaan tanah. Beberapa alasan suku Korowai membuat rumah di atas pohon yang sangat tinggi , yaitu :
 1. Menghindari gangguan binatang buas.
 2. Sebagai strategi berburu, karena dari atas pohon mereka dapat dengan leluasa
     mengontrol rusa dan babi hutan yang melintas di bawah rumahnya.
3. Adat istiadat mereka yang telah turun temurun.
4.Faktor alam yang membuat mereka merasa lebih aman.
5.Kepercayaan mereka bahwa tinggal di atas pohon dapat terhindar dari gangguan
   roh-roh jahat.
 Begitulah pikiran primitif mereka yang masih terisolasi dengan budaya modern.


          Inilah contoh rumah khas suku Korowai , suku yang sangat unik dan mengagumkan.
               Dan bahkan rumah mereka tingginya hampir sama dan bahkan bisa melebihi tinggi pohon-pohon yang ada disekitar rumah mereka. Bisa dibayangkan bagaimana jika kita berdiri di salah satu rumah suku Korowai yang tingginya antara 15 meter sampai 50 meter , yang pasti udara sejuknya masih asli banget dan oksigen yang terhirup tidak terkontaminasi dengan udara kotor, karbodioksida. Hebatnya lagi suku Korowai merupakan suku penjaga keseimbangan dan kelestarian hutan Papua yang hijau dan lebat. Jadi, suku ini juga penyumbang persenan bagi oksigen dunia , serta rumah tinggi suku Korowai ini merupakan mahakarya Green Technologi  sejak ratusan tahun silam



Nah ini dia , betapa uniknya jika ingin turun dan melakukan aktifitas mereka. Mereka harus berhati-hati dan bersabar untuk memanjat pohon dan turun dari pohonnya. Apakah bisa dibayangkan , mereka membutuhkan waktu berapa menit untuk naik dan turun di pohon tersebut? Apalagi kalau rumahnya yang mencapai 50 meter.



Rumah pohon suku Korowai sangat alamiah. Bahan yang digunakan untuk membuat rumah pohon pun berasal dari hutan dan rawa di sekitar mereka; seperti kayu, rotan, akar dan ranting pohon.  Semua bahan terbuat dari alam, kerangka terbuat dari batang kayu kecil-kecil dan lantainya dilapisi kulit kayu. Dinding dan atapnya menggunakan kulit kayu atau anyaman daun sagu. Untuk mengikat bahan-bahan tersebut, mereka semua menggunakan tali. Dan hebatnya lagi semua proses pembuatan rumah dilakukan dengan menggunakan tangan. Barang logam satu-satunya yang ada adalah parang atau kapak yang biasa mereka gunakan untuk berburu.

Suku Korowai adalah pemburu dan pengepul. Kehidupan mereka yang sangat sangat tergantung dengan pemanfaatan alam sekitar.

Inilah contoh salah seorang warga suku Korowai mencari larva kumbang Capricorn untuk dijadikan sagu, dan ini makanan favorit mereka karena larva adalah makanan protein utama mereka. Sagu yang di ambil dari pohon Palm.


Nah,ini dia contoh larva kumbang yang dicari tadi dan menjadi makanan favorit suku Korowai.

Seorang warga suku Korowai sedang mengolahan bubuk sagu kelapa di pelepah pisang untuk dijadikan makanan pokok bertepung alias sagu dan ini sering dilakukan mengingat di Papua belum ada beras.
Tidak hanya itu saja , mereka juga mengkonsumsi makanan nabati terutama daun palem , pakis , sukun , dan buah pandanae merah.

Ini pula , gambar seorang suku Korowai yang sedang membuat panah untuk senjata berburunya.


Beberapa contoh senjata tradisonal khas suku Korowai yang biasa mereka gunakan untuk berburu. Ini semua dibuat menggunakan tangan , tanpa harus menggunakan alat bantu logam.Mereka hanya memanfaatkan apapun yang ada di lingkungan sekitar mereka. Dengan berbagai macam bentuk senjata tersebut mereka biasa memburu babi hutan , burung kasuari , burung , ular , dan serangga kecil.


Bahasa yang biasa suku Korowai gunakan  termasuk dalam keluarga
Awyu-Dumut (Papua tenggara) dan merupakan bagian dari filum Trans-Nugini. Sebuah tata bahasa dan kamus telah diproduksi oleh ahli bahasa misionaris Belanda.

Konon , suku Korowai merupakan manusia pemakan daging manusia atau kanibal.
K
ulit mereka ditandai dengan bekas luka, hidung mereka ditusuk dengan tulang runcing, yaitu tulang burung yang dibengkokkan ke atas dari lubang hidung mereka.
Namun sekarang kebiasaan kanibalisme mereka telah hilang karena adanya bujukan untuk mendorong pariwisata dengan mengabdikan mitos bahwa mereka masih merupakan praktek aktif.
Sejak awal tahun 1990-an telah
menghasilkan pendapatan tunai dari hasil bekerja sama dengan perusahaan wisata yang mempromosikan wisata tour ke daerah Korowai. Dalam industri pariwisata, peluang penghasilan mereka terbatas seperti saat kelompok wisata di desa melakukan pesta sagu, membawa koper, dan atraksi/tarian traditional.

Inilah gambar rumah suku Korowai yang diambil daerah kamera seorang turis mancanegara di malam hari.


Seorang turis asing bernama George Steinmetz sedang mengambil foto untuk sebuah rumah pohon Korowai di pagi hari.


Ini adalah pemandangan anak sungai Korowai memasuki sungai Eilanden.
Pemandangan nya sangat alami dan sejuk .